penulis : Novina Chrisdianto
Sepulang kuliah, saya dan teman-teman memang sudah terbiasa pergi membeli makan atau sekedar nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul. Malam itu kami tertarik untuk makan bakmi di Sentra Kuliner RMI sebelah Taman Flora Bratang Surabaya.
Ternyata tidak hanya ada kami dan penjual bakmi, banyak aktifitas kehidupan yang berlangsung malam itu. Ada berbagai macam pedagang makanan, tukang parkir, sekelompok mahasiswa dengan laptop dan buku mereka, sepasang kekasih yang sedang makan malam dan lain sebagainya. Namun ada satu aktifitas yang membuat kami terdiam sejenak.
Malam itu, ada seorang anak kecil, mungkin usianya belum genap sepuluh tahun. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa yang menyebar diberbagai sudut. Anak itu datang menghampiri kami, dan menawarkan dagangan tisu kepada kami.
Tolong digarisi, itu terjadi di malam hari. Mungkin sekitar pukul sembilan malam, dan anak itu masih menahan kantuknya untuk berkeliling menjual tisu.
Miris, seharusnya anak seusianya sudah istirahat di rumah, tidur dan pergi sekolah di pagi hari. Namun kenyataan yang terjadi justru mereka sibuk mengais pundi-pundi rupiah demi sesuap nasi.
Beberapa bulan lalu, SATPOL PP Surabaya merilis pernyataan telah menangkap seorang ibu dan 3 orang anak yang berjualan tisu disekitar Jl. Basuki Rachmad, pukul 2 dini hari . Bukan pekara jual tisunya, tapi banyak kasus eksploitasi anak. Mereka dipaksa berjualan agar mendapat simpati orang-orang agar membeli dagangan mereka.
Tidak hanya di Surabaya, dilansir dari jawapos.com, 24 Maret 2024 lalu, SATPOL PP Sleman juga mengamankan penjual tisu, seorang ibu usia 35 tahun bersama dua anaknya yang masih berusia satu dan tiga tahun. Kasusnya sama, dibawa untuk mendapat belas kasihan orang-orang agar membeli dagangan mereka. Ketika ditangkap alasannya cukup klasik, “tidak ada yang jaga jika ditinggal,” kira-kira begitu.
Bentuk Eksploitasi Anak
Di Indonesia sendiri, terdapat Undang-Undang yang secara tegas mengatur tentang larangan eksploitasi anak. Anak-anak menurut UU No. 35 Tahun 2014 adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun. Sedangkan pada Pasal 13 ayat (1) huruf b UU 23/2002 mengatur bahwa setiap anak, selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan, salah satunya dari ekploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual.
Eksploitasi anak sendiri merupakan tindakan atau perbuatan yang memperalat memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi atau pun golongan. Eksploitasi terhadap anak memperlihatkan sikap diskriminatif, memaksa, sewenang-wenang terhadap anak oleh orang tau atau anak untuk melakukan sesuatu demi keuntungan ekonomi, sosial, ataupun politik tanpa memperdulikan hak-hak mereka. Sebagaimana yang diceritakan di atas, bagaimana mereka di jam tidur masih disuruh untuk berdagang.
Sayangnya meski sudah tertulis dengan jelas larangan eksploitasi anak, masih banyak oknum yang “terpaksa” menyuruh anak-anak entah itu berkerja ataupun mengemis untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Hal tersebut yang perlu diperhatikan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga terkait.
Jika sudah ada aturan yang melarang, mengapa masih banyak yang melanggar?
Bisa jadi karena akar permasalahan tidak terpecahkan. Masih banyak masyarakat yang berada ditaraf hidup serba kekurangan, yang membuat mereka terpaksa melakukan hal-hal terlarang tersebut.
Lantas bagaimana solusinya? Tentu saja menyelesaikan akar masalah dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu berfokus untuk meningkatkan perekonomian mereka, memberikan ruang yang layak untuk menjalani kehidupan kepada seluruh lapisan masyarakat bawah, termasuk masyarakat marjinal. Dengan demikian angka eksploitasi anak dengan dalih faktor ekonomi akan menurun atau bakan lenyap.