gambar siluet anak anak bahagia loncat loncatan

penulis : Novina Chrisdianto

Kerap kali kita mendengar kata marjinal, istilah yang lekat dengan konotasi miskin, tidak mampu atau semacamnya. Lantas apa keduanya sama? Atau marjinal merupakan istilah ilmiah dari kata miskin? Tentu tidak, keduanya berbeda. Masyarakat marjinal belum tentu miskin, namun masyarakat miskin sering digolongkan dalam kategori kelompok marjinal.

Definisi marjinal sendiri berarti yang terpinggirkan atau tersisihkan. Ada juga istilah yang menyebutkan bahwa marjinal adalah kelompok pra-sejahtera, biasanya para pengemis, pedagang asongan, pemulung atau buruh digolongkan dalam kategori ini. Beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) tidak mengkategorikan buruh sebagai kelompok marjinal, sebab definisi marjinal merupakan mereka yang tidak memiliki akses ke kekuasaan dan seringkali tidak terlibat dalam pembangunan atau hanya memiliki pengaruh kecil saja. Sedangkan buruh seringkali terlibat didalamnya. 

Aksesibilitas yang Terbatas

Mereka yang terpinggirkan, adalah mereka yang tidak bisa memiliki hak yang sama dalam hal apapun. Contohnya akses pendidikan bagi anak-anak. Mari kita lihat, apakah semua anak-anak di Indonesia mendapat hak untuk menempuh pendidikan formal? Jawabannya, tentu tidak. Hal tersebut dikarenakan oleh banyak faktor, dan rata-rata adalah karena masalah ekonomi.

Baru-baru ini, DPR RI menyoroti permasalahan banyaknya anak usia sekolah yang tidak dapat menempuh pendidikan. Mereka menyoroti adanya kenaikan angka dari 3.939.869 pada 2021 ke 4.087.288 di tahun 2022. Hal ini diakibatkan oleh keterbatasan akses, baik secara ekonomi maupun akses ke sekolah itu sendiri. Kurangnya pemerataan akses pendidikan yang disediakan pemerintah, membuat masyarakat secara tidak langsung termarjinalkan.

Tidak hanya DPR RI, Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Matur Husyairi juga menyoroti tingginya angka anak putus sekolah di Jawa Timur. Padahal 20% APBN dialokasikan ke pendidikan. Didukung dengan adanya program Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan penyerapan DAU (Dana Alokasi Umum), namun realita yang terjadi masih ada jutaan anak yang tidak duduk dibangku sekolah.

Bisa jadi, dana bantuan untuk pemerintah tidak jatuh ke tangan yang tepat. Misalnya, sekolah gratis, akan tetapi masih ada anak-anak yang tertolak di sekolah negeri. Dengan demikian mereka terpaksa mengambil opsi sekolah swasta, namun sayangnya ekonomi orang tua tidak mendukung dan berakhir tidak sekolah. Hal-hal seperti itu yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Bagaimana proses kebijakan berjalan di lapangan dan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi dan menghambat tujuan mensejahterakan rakyat.

Dinamika Anak-anak Marjinal di Surabaya

Menurut data BPS Kota Surabaya terdapat 6.734 anak-anak terlantar pada tahun 2021, jumlah ini meningkat dari 5.053 di tahun 2020. Sebagian besar dari mereka berujung menjadi korban eksploitasi anak, anak jalanan ataupun gelandangan. Dapat kita lihat di sepanjang perempatan-perempatan Kota Surabaya, banyak anak-anak yang menjadi pengamen, penjual tisu, penjual koran dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, di perempatan depan Taman Flora, setiap siang menjelang sore selalu ada dua anak, laki-laki dan perempuan yang berjualan koran. Di taman itu sendiri juga banyak anak-anak seusia sekolah dasar yang keliling menawarkan tisu. Tidak hanya disana, anak-anak ini juga tersebar di setiap penjuru kota.

Hal tersebut menujukan adanya ketidakseimbangan sosial dan ekonomi bagi anak. Mereka yang seharusnya bermain dan belajar, menikmati masa kecil justru terpaksa harus pontang-panting mencari uang demi melanjutkan hidup. Tentu saja hal ini tidak sejalan dengan julukan Kota Surabaya sebagai Kota Ramah Anak atau Layak Anak.

Adanya ketidakseimbangan sosial dan ekonomi bagi anak-anak berpotensi melahirkan kejahatan eksploitasi anak. Baik itu ekploitasi seksual, pekerja paksa, perdagangan manusia dan lain sebagainya. Maka dari itu, peran pemerintah, lembaga perlindungan anak dan masyarakat sekitar sangat penting untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak, termasuk anak-anak marjinal.

Tidak hanya perlindungan, namun juga hak-hak mereka untuk menempuh pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi. Hak mendapatkan akses kesehatan yang mudah. Perlindungan dari kerusakan lingkungan dan bencana. Serta segala bentuk keseimbangan di bidang sosial, politik dan ekonomi.